Search

Kabut asap masih menyengat di hidung Rendra, bercampur dengan bau amis darah yang sudah mulai mengering di pelipisnya. Dari dalam warung kopi yang TV-nya masih menyiarkan berita ricuh, matanya tertuju pada seorang perempuan tua. Perempuan itu memeluk erat foto seorang pemuda, wajahnya hancur oleh isak tangis yang sepertinya tak ada habisnya. Itu adalah ibu dari Aldi, salah satu dari yang disebut "pengunjuk rasa anarkis" dalam berita tadi pagi.

Rendra mengenal Aldi. Dia bukan anarkis. Dia adalah kakak kelasnya di kampus, seorang calon pengacara yang idealis dan paling sering mengutip UUD 1945 di kelasnya. Mereka datang bersama kemarin, 28 Agustus 2025, dengan keyakinan yang sama: menyuarakan penolakan terhadap RUU Perumahan dan Permukiman yang akan mengusir ribuan keluarga dari kampung mereka.

Awalnya damai. Massa tertib. Orasi menggelegar tapi santun. Mereka bahkan membawa bendera Merah Putih.

Lalu, semuanya berubah menjadi neraka.

Rendra masih ingat suara itu. Bukan suara teriakan massa, tapi suara dentuman keras yang berasal dari mereka—orang-orang berseragam hitam-hitam tanpa identitas yang tiba-tiba muncul dari sisi gedung DPR, membawa pentungan dan perisai panjang. Mereka bukan polisi. Polisi yang berjaga di barisan depan justru terlihat kaget.

"Bubarkan! Anarkis!" teriak seseorang, dan itu seperti perintah.

Tembakan gas air mata mendesis di udara, bukan ke udara, tapi langsung menyasar ke kerumunan massa. Rendra tersedak, matanya perih. Dia melihat Aldi berteriak, mengibarkan bendera yang mulai terkoyak.

"Itu provokator! Itu bukan kita!" teriak Aldi, suaranya parau.

Tapi kamera media seolah hanya punya satu sudut pandang: massa yang "membakar" sebuah motor (yang kemudian diketahui adalah motor milik siapa?) dan melemparkan botol (sebagai reaksi atas gas air mata yang sudah lebih dulu menyapa mereka).

Rendra terjatuh, terinjak-injak. Dalam keruhnya pandangan, dia melihat sekilas. Aldi, yang berusaha menolong seorang wanita yang pingsan, didorong brutal oleh sekelompok orang berseragam hitam itu. Kepalanya menghunjam ke pembatas beting, dan dia tidak bangun lagi.

Sekarang, di layar TV, seorang narasumber "pengamat" berbicara lantang.
"Harusnya aparat lebih tegas! Ini sudah mengganggu ketertiban umum! Demo harusnya ada izin, harusnya tertib!"

Rendra ingin menjerit. Mereka sudah mengajukan izin. Izin itu ditolak dengan alasan keamanan, padahal isu RUU ini sudah memanas selama berbulan-bulan. Penolakan izin itulah yang justru memicu kemarahan. Itu adalah jebakan. Mereka dipancing untuk datang, lalu dijadikan bulan-bulanan dalam sebuah drama yang sudah disutradarai.

Ibunda Aldi masih menangis. Seorang tetangga menghampiri, mencoba menghiburnya dengan kata-kata basi, "Sudah, Bu, ikhlas. Aldi sudah menjadi pahlawan."

Rendra memalingkan muka. Air matanya sudah kering, digantikan oleh api kemarahan yang membara. Aldi bukan pahlawan. Aldi adalah korban. Korban dari sebuah skenario yang dirancang untuk melanggengkan kekuasaan.

Polisi menyatakan 10 polisi terluka. Tapi berapa banyak warga sipil seperti Aldi yang terluka, hilang, atau bahkan tewas? Angkanya tidak pernah jelas, dikaburkan oleh narasi resmi yang hanya menampilkan satu sisi: sisi "keamanan dan ketertiban".

Rendra berdiri, meninggalkan warung kopi. Dia melihat ke arah gedung DPR yang megah di kejauhan. Tempat yang seharusnya menjadi rumah rakyat, kini berubah menjadi benteng yang dikelilingi oleh pagar baja dan ketakutan.

Dia tidak lagi memiliki bendera atau spanduk. Tapi di matanya, ada tekad baru yang lebih berbahaya daripada amuk massa. Sebuah tekad untuk mengungkap kebenaran. Untuk membongkar siapa dalang di balik "provokator" berseragam hitam itu. Untuk menyuarakan bahwa yang terjadi bukanlah "kerusuhan", melainkan sebuah pembantaian yang disamarkan.

Kematian Aldi tidak akan hanya menjadi angka statistik dalam berita yang akan dilupakan esok hari. Ia akan menjadi bayangan yang membuntuti setiap langkah para penguasa di gedung itu, mengingatkan mereka bahwa di balik air mata seorang ibu, lahir sebuah perlawanan yang tak akan pernah lagi percaya pada kata-kata manis dan janji palsu.

Kebenaran mungkin bisa dibungkam sementara, tetapi ia tidak akan pernah mati. Dan Rendra bersumpah, dialah yang akan memberinya suara.